Alokasi anggaran kesehatan oleh pemerintah pusat hingga kini masih tergolong rendah. Data terakhir bahkan menyebut anggaran kesehatan kita paling rendah dibanding negara-negara ASEAN lain.
Fakta tersebut membuka kondisi kesehatan masyarakat Indonesia yang masih memprihatinkan. Meski tergolong negara berkembang dengan kemampuan keuangan pemerintah kuat, namun belanja kesehatan Indonesia hanya sedikit lebih baik dibanding Laos, Brunei, dan Myanmar. “Pertumbuhan kita lebih terdorong program JKN sejak 2015,” kata Luthfi Mardiansyah, ketua Center for Healthcare Policy and Reform Studies (CHAPTERS) seperti dikutip Jawa Pos.
Menurut Luthfi, masih banyak fasilitas kesehatan yang belum layak di Indonesia, terutama di daerah. Kondisi ini terjadi akibat tingginya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang berimbas pada perbedaan kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini terukur dari rasio jumlah tempat tidur di rumah sakit yang menjadi infrastruktur utama kesehatan di tiap daerah.
Luthfi mencontohkan, Provinsi Yogyakarta tercatat memiliki tempat tidur rumah sakit paling tinggi atau tiga banding 1.000 orang. Disusul berikutnya Jakarta dengan rasio 2,43 per 1.000 orang. Sementara di kawasan Indonesia bagian timur ketersediaan tempat tidur jauh di bawah itu. Data ini menunjukkan jumlah rumah sakit di Indonesia tergolong rendah dibanding populasi penduduk. “Disparitas ini terjadi karena alokasi belanja kesehatan yang belum merata di daerah,” katanya.
Meski demikian, tak sedikit rumah sakit pemerintah yang berjuang mati-matian untuk menjaga standarisasi pelayanan setara rumah sakit swasta. Tak ingin bergantung pada keterbatasan anggaran pemerintah, rumah sakit plat merah ini melakukan berbagai terobosan untuk melayani masyarakat miskin secara cuma-cuma.
Salah satu yang sukses menempuh jalur itu adalah Rumah Sakit Umum Daerah Dr Iskak Tulungagung. Tak mengandalkan dukungan subsidi APBD sebagai pemasukan utama, rumah sakit ini mengelola keuangan mereka dengan cerdik. Hasilnya, tak hanya mampu memberi akses layanan kesehatan gratis kepada masyarakat Tulungagung yang kurang mampu, rumah sakit ini juga memberi penghasilan di atas rata-rata kepada para pegawainya. “Ini soal komitmen dan keberpihakan pada masyarakat,” kata Dr Supriyanto Sp.B, Direktur RSUD Dr Iskak.
Memberi jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin, menurut Dr Supriyanto sama sekali bukan bergantung pada suntikan APBD ataupun APBN. Hal ini lebih dipengaruhi kemampuan mengelola sumber daya dan keuangan yang ada, untuk memunculkan inovasi layanan kesehatan dengan penerapan subsidi silang. Jika seluruh pengelola rumah sakit berpikir demikian, dia menjamin tak ada satupun penduduk Indonesia yang luput dari layanan kesehatan.
Begitu mahalnya harga sebuah kesehatan ini, menurut Dr Supriyanto, menjadi faktor penentu derajat ekonomi seseorang. “Orang bisa dengan cepat jatuh miskin karena sakit,” katanya.
Karenanya bersama Pemerintah Kabupaten Tulungagung, RSUD Dr Iskak terus berupaya meningkatkan jangkauan layanan kesehatan mereka agar tak menjadi menara gading. Prosedur administrasi turut dipangkas untuk memudahkan masyarakat saat berobat.