Dalam upacara pisah-sambut direktur lama ke direktur RSD Tulungagung yang baru waktu itu, dr Laitupa diumumkan sebagai tenaga baru yang diberi amanah mengelola Poli Penyakit Dalam. Sementara tiga dokter spesialis yang sebelumnya bergabung di poli umum juga diaktifkan untuk mengelola tiga Poli Spesialis Bedah, Kandungan dan Anak secara mandiri. Sejajar dengan poli penyakit dalam yang baru datang. “Sebenarnya ada lima dokter spesialis. Satunya dokter spesialis THT, yakni dr Ida Manurung, Sp.THT, dia adalah istrinya dr Pinda Toruan, yang masuk RSD Tulungagung pada 1981,” tutur dr Laitupa menambahkan.
Singkat cerita, pembentukan lima poli spesialis di RSD Tulungagung pada akhir pertengahan era 1980an itu menambah daya dukung layanan rumah sakit pemerintah tersebut. Pasien berdatangan. Tidak hanya dari Tulungagung, tetapi juga dari daerah di sekitarnya. Seperti Blitar, Kediri, dan Trenggalek. Namun dalam perjalanannya, tutur dr Laitupa, beban paling berat dia rasakan selaku penanggung jawab poli penyakit dalam.
Berbeda dengan Poli Spesialis Bedah, Poli Anak dan Poli Kandungan yang memiliki pasien dengan kasus-kasus spesifik, Poli Penyakit dalam memiliki pasien dengan kasus yang lebih heterogen. Mulai dari masalah jantung, paru, kulit kelamin dan saraf. Semua masuk ke Poli Penyakit Dalam yang ditangani dr Laitupa. Imbasnya pasien berlimpah. Dalam sehari bisa 100-an pasien datang berobat jalan. Kondisi itu berlangsung sejak September 1986 saat dr Laitupa masuk hingga 1990.
Di hadapan direktur, dr laitupa jujur mengaku kecapekan. Bayangkan, dalam sehari harus menangani sebegitu banyak pasien dengan kasus heterogen. Mulai jam 07.00 WIB hingga 14.00 WIB. Meskipun dalam prosesnya Dokter Lai sudah mencoba menyiasati dengan membagi hari layanan dengan mengelompokkan pasien berbeda. Misal hari Senin hanya dikhususkan untuk layanan penyakit berkaitan dengan diabet, Selasa untuk kelompok penyakit liver dan saluran makanan, Rabu untuk keplompok hipertensi, Kamis untuk kelompok penyakit paru, Jumat untuk masalah jantung dan Sabtu untuk kelompok penyakit dalam lainnya.
Awalnya kiat ini efektif. Dokter Laitupa mengaku bisa lebih fokus menangani kasus. Tidak terpecah fikiran karena dalam sehari harus memikirkan jenis penyakit yang beragam. Pekerjaan lebih cepat, meski pasien tetap banyak. Lama-kelamaan, dokter Lai pun merasa tidak mampu kalau tetap sendirian. Sebab selain layanan poli, dia masih harus kunjungan pasien rawat inap mulai pukul 14.00 WIB hingga sore. Belum lagi ia saat itu juga menjalani praktik layanan di luar RSD (poliklinik rumah), mulai petang hingga malam bahkan dini hari.
Bersamaan dengan rencana pengembangan RSD Tulungagung, Dokter Laitupa usul untuk mendatangkan dokter spesialis baru dan langsung disetujui direktur saat itu. Sejak itulah Dokter Laitupa bergerilya ke kampus almamaternya, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya, demi mendatangkan dokter spesialis baru sesuai kebutuhan RSD Tulungagung atau yang kemudian berganti nama menjadi RSUD dr Iskak pada 2001 itu.
Hasilnya, mulai masuklah dokter-dokter spesialis ke RSUD Tulungagung. Mulai dr Evit Ruspiono, Sp.JP yang memiliki kompetensi ahli spesialis jantung, lalu dr Bambang Sadworo, Sp.P yang ahli spesialis paru, juga dr Jacobus, Sp.S yang juga spesialis saraf, dr Moshe, Sp.An yang ahli anastesi, dr Saifulah, Sp.B yang pindahan dari RSD Magetan hingga dr Laksmi Wijayanti, Sp.PD yang memiliki spesifikasi keahlian sama dengan dokter Laitupa.
Sejak kedatangan dokter Laksmi inilah layanan di poli penyakit dalam lebih efektif dan berkembang hingga sekarang memasuki usianya ke-33. Kini terdapat lima dokter spesialis penyakit dalam sekaligus, yakni dr Laksmi Wijayanti, Sp.PD yang masih bertahan hingga sekarang, serta empat dokter baru seperti dr Moh. Jasin Jachja, Sp.PD, dr Rina Melinda, Sp.PD, dr Nuraida Wisudani, Sp.PD dan dr Hengki Wijaya, Sp.PD yang merupakan menantu dokter Laitupa. (*)