Sementara ilmuwan dunia bekerja keras memelajari virus corona — virus yang menyebabkan penyakit COVID-19 dan kini telah menjadi pandemi global –, sejumlah teori konspirasi tentang apa sejatinya COVID-19 pun berkembang subur. Tidak hanya di tingkat global, namun juga ramai menjadi perdebatan di level domestik (nasional) hingga akar rumput. Apa asal muasal virus corona baru yang ilmuan namakan s SARS-CoV-2 itu?
Secara umum, teori konspirasi yang berkembang di masyarakat termasuk di media sosial adalah bahwa virus corona jenis baru ini adalah rekasaya manusia. Siapa yang merekayasa dan apa tujuannya adalah berbanding lurus dengan jumlah teori itu sendiri. Teori konspirasi yang paling banyak diperbincangkan masyarakat adalah bahwa virus corona adalah senjata biologi rahasia yang dibuat oleh Republik Rakyat Tiongkok (China).
Sebaliknya, muncul teori konspirasi lain bahwa pemerintah AS-lah yang merekaya virus dan mengirimkannya ke Wuhan. Teori ini juga disambut pemerintah Iran yang sudah lama menanggung embargo ekonomi dari AS dan sekutunya.
Kedua teori ini sama-sama tidak didukung bukti valid dan mungkin bisa dipahami dalam kerangka perang dagang dan dominasi antar kedua kekuatan terbesar dunia itu. Teori konspirasi lainnya menempatkan pendiri Microsoft.Inc dan salah satu orang terkaya dunia Bill Gates sebagai aktornya.
Prediksi Gates beberapa tahun lalu tentang akan datangnya pandemi global dianggap sebagai salah satu bukti Gates sebagai aktor. Tuduhan terutama didasarkan pada, antara lain, penelitian tato kuantum yang didanai Gates Foundation. Tato kuantum adalah tinta tak terlihat yang bisa bertahan selama lima (5) tahun pada kulit manusia dan dapat dideteksi menggunakan smartphone.
Teknologi yang sedang dikembangkan ini memang bisa berfungsi memberikan penandaan pada siapa saja yang telah mendapatkan vaksin. Sehingga, Gates dianggap berkepentingan dengan pandemi agar tato kuantum menjadi kebutuhan dunia selain vaksin. Sama seperti teori konspirasi yang lain, teori ini juga tidak memiliki dasar yang kuat.
Huanan Seafood Wholesale market dan Misteri SarS-coV-2
Komite Kesehatan Kota Wuhan adalah yang pertama melaporkan adanya klaster terdiri dari 27 kasus orang sakit dengan gejala pneumonia dengan sebab yang awalnya tidak diketahui. Ini termasuk tujuh kasus berat dengan symptom identik. Klaster ini diidentifikasi memiliki kaitan dengan Huanan Seafood Wholesale Market di Kota Wuhan, China.
Dari klaster inilah Otoritas Kesehatan Kota Wuhan mengisolasi sebuah untaian (strain) baru coronavirus yang oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dinamai “2019-n-CoV” (2019 novel coronavirus). Sakit akibat infeksi virus itu dinamai COVID-19 (Coronavirus Disease 2019). Sementara International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) kemudian menamai virus itu dengan SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome of Corona virus 2).
Meski demikian, studi lanjutan menyimpulkan, tidak semua kasus awal memiliki kaitan epidemiologis dengan pasar itu. Berarti, bahkan lokasi penularan pertama belum bisa dipastikan. Dari China, virus kemudian masuk ke Thailand dan selanjutnya menyebar ke lebih dari 200 negara dan puluhan kapal pesiar.
Hingga akhir Juni, lebih dari 10 juta penduduk dunia telah terinfeksi dan mengakibatkan kematian lebih dari setengah juta orang serta angka kesembuhan mencapai 51 persen atau 5.37 juta orang. Angka tersebut bergerak eksponensial dari 2,65 juta pada minggu ke-3 April.
Sebagian besar peneliti sepakat SARSCoV-2 bersumber dari kelelawar. Sama seperti virus corona terdahulu, SARSCoV yang mengakibatkan wabah yang dikenal dengan nama SARS (2003) dan MeRS-CoV dengan wabah MeRS (2012). Namun hewan apa yang menjadi host (inang) perantara bagi SARS-CoV-2 sebelum melompat ke tubuh manusia masih misterius. Seperti ditulis D. Tang et al dalam jurnal medis PLOS Pathogens, sejumlah ilmuan memiliki dugaan, host perantara SARS-CoV-2 adalah ular.
Sejumlah ilmuan lain menduga perantaranya binatang trenggiling. Namun, keduanya belum didukung bukti valid, sementara inang perantara SARS adalah musang dan MeRS adalah onta.

SarS-coV-2 lebih mudah menyebar dibandingkan SarS dan MErS
SARS-CoV-2 adalah virus corona ketiga yang mengakibatkan tingkat kesakitan yang bisa sampai batas parah dan mematikan (pathogenic) pada manusia setelah SARS (2003) dan MeRS (2012).
Virus corona yang bisa menginfeksi dan mengakibatkan kesakitan pada manusia (HCoV) pertama kali diidentifikasi tahun 1960-an. Ilmuan telah mengidentifikasi setidaknya sembilan macam coronavirus yang dikelompokkan dalam empat subkelompok, yaitu Alphacoronavirus, Betacoronavirus, Gammacoronavirus, dan Deltacoronavirus.
Tujuh dari sembilan jenis coronavirus itu termasuk kategori HCoV. Lima di antaranya masuk sub-kelompok Betacoronavirus termasuk SARS-CoV-2, SARS-CoV, dan MeRS-CoV. Dibandingkan dengan SARS dan MeRS, COVID-19 memiliki tingkat kematian (CFR) lebih rendah. Data yang dikompilasi Reuters hingga akhir Juni, jumlah pasien COVID-19 yang meninggal dunia sekitar 511 ribu orang atau 4,85 persen dari total kasus konfirmasi sekitar 10,5 juta orang.
Sementara, angka kematian SARS 9,2 persen dari total kasus 8.096, dan tingkat kematian MeRS 34 persen dari total kasus 2.494. Meski memiliki tingkat kematian lebih rendah namun COVID-19 berdaya tular sangat tinggi, lebih menular dibanding SARS dan MeRS. CNN melaporkan awal Juli hasil studi La Jolla Institute for Immunology dan Coronavirus Immunotherapy Consortium bahwa virus corona versi baru telah berkembang dan menyebar dari eropa ke AS dengan ciri lebih mudah lagi menyebar meski yang lebih lunak akibat infeksinya terhadap gangguan kesehatan.
Infeksi SarS-coV-2 ke Tubuh Manusia
Penularan SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia yang utama adalah melalui droplet dari saluran pernafasan. Selain itu penularan juga dapat berlangsung melalui udara, namun dengan sejumlah prasyarat. Pada individu yang terpapar SARS-CoV-2 awalnya virus masuk melalui hidung atau mulut kemudian bergerak melalui bagian belakang tenggorokan menuju paru-paru.
Setelah membelah diri, virus kemudian masuk ke dalam darah atau pun menginvasi organ tubuh lain. Virus corona, termasuk SARS-CoV-2, terdiri dari asam ribonukleat (RNA) yang dibalut oleh sejumlah protein, yaitu protein paku (S, di bagian paling luar), membran (M), envelope (e) dan nucleocaspid (N). Protein S dari virus inilah yang berfungsi sebagai pengait ke pintu masuk sel dari tubuh individu yang terinfeksi.
Pintu masuk ke sel organ tubuh individu yang terinfeksi adalah protein pada permukaan jaringan yang disebut sebagai ACe-2 (angiotensin-converting enzyme 2). ACe-2 juga berperan sebagai pengait, sehingga protein S dari SARS-CoV-2 dan ACe-2 pada jaringan organ tubuh individu terinfeksi seperti saling mengait. Setelah virus berhasil “mengakses” sel tubuh jaringan organ itu kemudian virus memperbanyak diri.
Di tubuh manusia, ACe-2 terutama banyak terdapat di sel organ paru-paru. Ini menjelaskan bagaimana virus mengganggu sistem pernafasan. ACe-2 juga banyak di sel darah, jantung, hati, lambung, ginjal, dan hidung. Semakin banyak virus berkembang biak, ACe-2 tidak dapat memerankan fungsi normalnya sebagai pelindung jaringan organ-organ tubuh itu dan dapat berakibat disfungsi organ tersebut.
Pengamatan M. Kumar et al di jurnal Elsevier menyebutkan kecocokan antara protein S dan ACe-2 sangat tinggi yaitu 10 hingga 20 kali lipat dibandingkan kecocokan protein S dari SARS-CoV dengan ACe-2. Ini menjelaskan kenapa penyebaran COVID-19 berlipat-lipat kali lebih luas dan cepat dibandingkan SARS dan MeRS. Kumar juga menggarisbawahi bahwa pengobatan COVID-19 seharusnya juga difokuskan pada terapi yang menghambat keterkaitan antara protein S dan ACe-2.
Gejala, sakit dan pengobatan cOVID-19 Sejumlah pasien kemudian juga mengalami gangguan pernafasan akut (ARDS) selama 7 hingga 10 hari setelah terjangkit sebagai akibat dari perkembangbiakan virus yang sangat cepat. Namun, periode inkubasi infeksi SARS-CoV-2 tidak menentu, antara 2 hingga 14 hari. Hal ini membuat sulit melakukan diagnosis awal dan memberikan pertolongan tepat waktu. Kemudian, pergerakan penyakit pada pasien COVID-19 juga sulit diprediksi. Hingga kini, setelah lebih dari enam bulan setelah wabah ini menyebar, belum ada obat khusus untuk pasien COVID-19.
Sementara formulasi vaksin belum selesai dan belum tentu bisa diharapkan ketersediaannya hingga akhir 2021. Sejumlah lembaga penelitian bidang farmakologi terus melakukan pengamatan pada obat-obatan yang sudah ada di pasaran yang selama ini digunakan untuk penyakit lain. WHO pun telah lama melakukan pengamatan uji klinis atas sejumlah obat dalam program solidarity trial dan menjanjikan akan merilis hasilnya akhir minggu ketiga atau awal minggu keempat Juli.
Dirjen Who Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus seperti dikutip ABCNews awal Juli mengatakan program solidarity trial melibatkan 5.500 pasien di 39 negara. Obatobatan yang dikaji dalam program tersebut adalah hydroxychloroquine, remdesivir, lopinavir, ritonavir, serta gabungan lopinavir/ritonavir dan interferon.
Namun, hydroxychloroquine kemungkinan tidak akan menjadi salah satu obat yang direkomendasikan dan telah dicoret dari daftar kandidat obat sebelumnya oleh WHO. Sejumlah obat-obatan tersebut selama ini juga telah terapikan oleh RSUD dr Iskak dalam penanganan pasien COVID—19. Dokter spesialis paru, dr M Arfi, mengatakan RSUD dr Iskak juga menggunakan Oseltamivir 75 mg sebagaimana rekomendasi kolegium dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).
“Kita juga memakai terapi dengan kombinasi Lopinavir dan Ribonavir, Hydroxychloroquine, dan Azithromycin sebagaimana hasil penelitian dari UNAIR (Universitas Airlangga),,” tuturnya. S Jean et al dalam jurnal mikrobiologi, imunologi dan infeksi, ScienceDirect Edisi Juni, menyimpulkan dari sejumlah kasus pengobatan COVID-19 bahwa Remdesivir, obat yang diproduksi Gilead Sciences Inc. yang sebelumnya digunakan untuk pasien SARS dan MeRS, adalah obat paling efektif melemahkan virus, mengatasi kesaki tan dan memulihkan kerja organ pernafasan.
Peneliti pada Department of Emergency, School of Medicine, College of Medicine, Taipei Medical University, Taiwan dan juga praktisi medis beserta kolega itu juga menelaah efektivitas sederet obat termasuk Hydroxychloroquine, treatment untuk pasien malaria, dengan kombinasi Azithromycin.
Mereka juga merekomendasikan pengamatan klinis terhadap sejumlah terapi herbal tradisional yang berpotensi sebagai alternatif pencegahan dan pengobatan pasien COVID-19. Selain obat-obatan yang lain, termasuk terapi obat bagi pasien HIV/AIDS yaitu Lopinavir/ritonavir yang bekerja menghambat perkembangbiakan virus, transfusi darah dan plasma sel (convalescent plasma) yang diambil dari pasien yang telah sembuh dari COVID-19 juga disebut sebagai alternatif terakhir. (MaH)