22 Jun, 2020

Pihak Rumah Sakit Harus Fleksibel

Masih ingat kasus kematian bayi Debora di Rumah Sakit Mitra Keluarga 3 September 2017 silam? Peristiwa di dunia medis itu adalah sebuah tragedi kemanusiaan besar di tengah upaya pemerintah meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Baca Juga: Bayi Debora dan Kisah Pilu Layanan Kesehatan

KEMATIAN bayi bernama lengkap Tiara Debora asal Tangerang tersebut menjadi cermin realita bisnis layanan kesehatan yang dilakukan rumah sakit di Indonesia. Itu menjadi tamparan sekaligus pembelajaran bagi semua pihak. Ketidakpastian iklim regulasi di tanah air memang acapkali menjadi batu sandungan bagi kelompok profesional untuk menjalani profesinya. Termasuk di dunia kesehatan. Besarnya jarak antara Das Sollen (situasi yang dicita-citakan) dengan Das Sein (keadaan sebenarnya) inilah yang pada akhirnya memaksa para dokter melakukan modifikasi atas teori di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan di daerah.

Manajemen rumah sakit akan sangat sulit diterapkan secara efektif dan terukur dalam situasi ketidakpastian seperti sekarang ini. Sementara para dokter memerlukan kepastian dalam menjalankan tata kelola pasien berbasis fakta dan data, serta berpedoman pada EBM (Evidence Based Medicine) demi pemenuhan hak pasien atas pelayanan paripurna.

Di sinilah dibutuhkan kepiawaian seorang pimpinan rumah sakit untuk berperan menjadi jembatan kepentingan tiga Kutub (pasien – dokter – pemilik sarana pelayanan kesehatan). Jika ketiga kutub tersebut tak saling terbuka dan cenderung membentengi otoritasnya, dipastikan akan mengancam operasional rumah sakit. Puncaknya, para dokter akan bertikai satu sama lain, bertikai dengan profesi kesehatan yang lain, dan bahkan dengan pemegang otoritas regulasi sendiri. Dan yang paling celaka, hubungan dokter dengan pasien pun akan menjadi sangat transaksional

Fenomena ini setidaknya telah terjadi pada RS Mitra Keluarga. Meski Hasil investigasi Dinas Kesehatan DKI menyebutkan tidak ditemukannya kesalahan oleh dokter di Instalasi Gawat Darurat. Dokter telah menjalankan tugasnya dengan memindahkan bayi Debora ke ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

Namun ketika pemindahan tersebut hendak dilakukan, petugas rumah sakit meminta pembayaran uang muka sebagai jaminan atas penggunaan ruang PICU. Permintaan itulah yang tak bisa dipenuhi orang tua pasien hingga pada akhirnya meregang nyawa. Padahal orang tua pasien adalah pemegang Kartu BPJS Kesehatan.

Peristiwa ini seharusnya bisa dihindari jika pengendali tata kelola korporasi bisa bersikap fleksibel. Tentu saja fleksibal dalam konteks ini bukan berarti menabrak atau melanggar aturan yang menyangkut keselamatan pasien, tetapi bersikap lunak dalam mengelola semua kepentingan. Adaptasi, modifikasi, dan inovasi adalah sikap yang harus dimiliki pimpinan rumah sakit.

Inovasi penting bagi sebuah rumah sakit agar mampu menyelenggarakan tata kelola klinis maupun non-klinis secara sinergi dan akuntabel. Sementara modifikasi diperlukan untuk menjaga hubungan dokter – pasien dengan pemilik rumah sakit tetap harmonis. Kepentingan pasien menjadi prioritas (patient safety). Sebab jika pasien selamat, maka kepentingan semua pihak termasuk pegawai rumah sakit (medical staf safety) akan ikut selamat. Demikian pula sebaliknya. (*)

Berita Terkait

Berita Terbaru

Polling

Apakah website ini bermanfaat untuk Anda?