24 Jun, 2020

RSUD dr Iskak Pindah 9 Kali

Akhir Desember 1948 dr Iskak dipercaya Bupati Tulungagung R. Mochtar Prabu Mangkunegoro untuk menjadi pimpinan rumah sakit di Tulungagung. Karena kondisi sedang perang, seluruh pasien yang berjumlah sekitar 50 orang dan pegawai rumah dan keluarga yang berjumlah 200 orang diungsikan ke luar kota. Pengungsian besar-besaran itu dikoordinir seorang mantra senior bernama Soejoto. Pengungsian dilakukan ketika matahari mulai terbenam.

Sekitar pukul 18.30 WIB. Rombongan pengungsi menerobos kesunyian malam. Pasien yang sakit berat terpaksa ditandu. Sedangkan yang masih bisa jalan, dipapah oleh saudara atau petugas kesehatan. Tak lupa keluarga karyawan rumah sakit ikut pindah. Mereka membantu membawa peralatan medis yang saat itu masih sangat sederhana. Suasana mencekam.

Rombongan pengungsi ini berjalan tergesa-gesa untuk menghindari kecurigaan pasukan Belanda yang mencoba menjajah Indonesia kembali. Mereka berjalan beriringan. Tidak ada yang berani menyalakan obor untuk menerangi jalan. Tujuan pertama, di rumah petugas kesehatan di Desa Bangoan. Desa Bangoan merupakan daerah yang cukup terpencil saat itu sehingga dianggap aman untuk tempat pengungsian. Namun itu tak berlangsung lama. Sebab mata- mata Belanda mengetahui tempat pengungsian dokter, petugas kesehatan dan pasien.

Akhirnya, mereka memutuskan untuk mengungsi lagi. Kali ini dituju di Desa Domasan, Kecamatan Kedungwaru. Lagi, aksi mengungsi ini dilakukan dengan sangat hati-hati. Kota Tulungagung telah diduduki penjajah Belanda. Pada 1949, Rumah Sakit Tulungagung pindah sembilan kali hingga terakhir di dekat Pantai Selatan (daerah sine). Semua dilakukan untuk menghindari kejaran pasukan Belanda.

Setelah Belanda diusir dari Indonesia pada akhir 1949, rumah sakit dikembalikan ke Tulungagung. Bupati Tulungagung tetap mempercayakan dr Iskak sebagai pimpinan rumah sakit. Setelah kedaulatan dicapai Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1950, bukan berarti hambatan telah usai.

Persoalan-persoalan serius yang muncul dan perlu dicarikan pemecahannya yaitu keterbatasan dana, sarana dan prasarana rumah sakit yang berkedudukan di Jalan Pahlawan. Misalnya, pengadaan peralatan medis, obat-obatan, serta bahan makanan bagi pasien yang opname. Maklum, pemerintah daerah hanya mampu men-dropping bahan makanan setahun sekali dalam jumlah yang terbatas.

Untuk kekurangannya, pihak rumah sakit yang dipimpin dr Iskak harus mengupayakan sendiri. Tidak mungkin mengharapkan pemasukan dana dari pasien yang berobat maupun yang opname. Itu karena kondisi masyarakat saat itu yang memprihatinkan. Ide jenius muncul dari benak dr. Iskak yakni kerjasama dengan masyarakat sekitar rumah sakit dengan mengadakan penanaman padi dan jagung memakai sistem tumpangsari.

Lahan yang digunakan mencapai 10 hektare, diambilkan dari tanah kehutanan atas seizin Bupati R. Mochtar Prabu Mangkunegoro. Hasilnya, kebutuhan pangan yang menjadi tanggungan rumah sakit terpenuhi. Dengan cara itu pula rumah sakit akhirnya dapat menghidupi 200 orang pegawai beserta keluarganya dan memenuhi kebutuhan makan pasien.

Sementara untuk mendapatkan protein pihak rumah sakit mengadakan penyembelihan sapi sendiri. Sebagian daging sapi untuk lauk pauk pasien, sisanya dijual ke masyarakat. Sedangkan untuk tambahan keuangan, pimpi- nan beserta pegawai rumah sakit secara gotong royong menciptakan home industry, yakni membuat sabun yang bahannya dari abu dan minyak kelapa. Dr Iskak sangat peduli dengan rakyat kecil.

Hal itu tercermin dari kebijakannya yang membebaskan biaya berobat untuk masyarakat tidak mampu, termasuk para abang tukang becak. Selain tukang becak, polisi dan tentara juga gratis setiap berobat ke dr Iskak. Dr Iskak sangat disiplin dalam segala hal. Ini dibuktikan, misalnya, tempat penyimpanan anak kunci rumah sakit.

Anak kunci harus diletakkan di tempat yang telah disediakan. Pernah, suatu hari salah satu karyawan rumah sakit mengantongi anak kunci tersebut. Begitu ketahuan oleh dr Iskak maka karwayan yang dianggap lalai itu mendapat hukuman. Yakni harus memakai jas dokter selama jam kerja. Suatu bentuk hukuman yang unik, tanpa unsur kekerasan namun sangat mengena.

Karena karyawan yang bukan dokter itu malu memakai jas dokter. Ada juga karyawan yang dihukum harus memakai jas dokter karena kancing jas dr Iskak lepas satu. Pada 13 Maret 1970, dr Iskak terpaksa meninggalkan Rumah Sakit Daerah Tulungagung karena mendapat tugas baru sebagai pengawas Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Sekitar setahun kemudian, dr Iskak memasuki masa pensiun. (*)

Berita Terkait

Berita Terbaru

Polling

Apakah website ini bermanfaat untuk Anda?