1 Jul, 2020

Speech Delay Indikasi Gangguan Pendengaran pada Bayi

JIKA anak mengalami telat wicara atau speech delay dibanding anak lain seusianya, orang tua wajib waspada. Sebab, terlambat dalam hal kemampuan bicara pada anak balita bisa jadi akibat gangguan pendengaran pada anak. Bayi mulai berbicara saat berusia dua tahun. Jika sudah lebih dari dua tahun bayi belum bisa bicara, sebaiknya orang tua segera memeriksakannya ke dokter spesialis Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT). Sebagaimana dijelaskan dokter spesialis THT RSUD dr Iskak Tulungagung, dr Moch Mundir Arif, Sp.THT.KL, untuk mengetahui anak yang mengalami gangguan pendengaran bisa melakukan dengan dua pemeriksaan.

Pertama, yakni dengan melakukan Otoacoustic Emission (OAE), yaitu screening pendengaran untuk menilai sela rambut yang terdapat di rumah siput (koklea) . OAE dapat digunakan untuk mendeteksi ketulian sejak usia anak dua (2) hari. Kedua, dengan teknik Brain Evoked Response Auditory (BERA).

Dr Mundir mengatakan, teknik BERA digunakan dalam dunia medis untuk mendeteksi kelainan saraf otak sejak usia tiga (3) bulan. Gangguan pendengaran pada anak umumnya sebagai gangguan bawaan. Agar bisa bicara harus ada suara masuk. Jika tidak bisa mendengar suara, maka anak akan menjadi bisu. Ada beberapa faktor risiko pemicu gangguan pendengaran, antara lain riwayat keluarga, infeksi TORCHS (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalo dan Herpes) saat dalam kandungan.

Selain itu bayi lahir prematur, dan terkena infeksi meningitis juga bisa memicu ganggaun pendengaran. “Kalau ada anak dengan ibu terkena penyakit itu, maka saat anaknya lahir harus kita cek semuanya,” kata dr Mundir. Ibu hamil yang mengonsumsi obat-obatan juga menjadi pemicu gangguan pendengaran bawaan (congenital). Terutama jenis obat untuk mengobati kanker dan TBC. Dalam fase kehamilan, pembentukan telinga terjadi pada usia kandungan 3-4 bulan.

Jika saat itu ibu hamil sakit parah, maka bayi yang dilahirkan berpotensi mengalami ketulian. Bayi yang baru lahir kulitnya akan berwarna kuning setelah tiga hari, dan akan berakhir 14 hari. Jika sebelum tiga hari kulit bayi sudah berwarna kuning atau setelah 14 hari warna kuning belum menghilang maka bayi berpotensi mengalami ketulian. Campak pada anak dan gondongen juga berpotensi mengakibatkan ketulian pada anak. Sebab gondongen atau pembesaran kelenjar paratis juga menyerang syaraf pendengaran.

Sementara untuk penanganan ketulian dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar, atau implan koklea. Untuk implan koklea harganya cukup mahal. Satu telinga saja membutuhkan biaya sekitar Rp 300 juta. Implan koklea adalah alat elektronik mini, yang dipasang dalam telinga. Alat ini membantu penggunannya agar lebih mampu memahami suara. Implan koklea berbeda dengan alat bantu dengar. Alat dengar mempunyai fungsi membuat suara dari luar terdengar lebih nyaring. Sementara implan koklea menggantikan fungsi telinga dalam (koklea) yang rusak.

Koklea ini bertugas mengambil getaran dan mengirimkan sinyal suara ke otak, lewat syaraf pendengaran. Pada orang dewasa, gangguan pendengaran berkembang secara bertahap, namun hilangnya pendengaran bisa berlangsung tiba-tiba. Suara dengan tingkat kebisingan 79 desibel masih dikategorikan aman untuk manusia. Ambang batas kebisingan adalah 86 desibel, untuk waktu dengar 8 jam per hari. Sementara tingkat kebisingan 100 desibel maksinal hanya 15 menit. Menurut International Air Transportation Association (IATA), intensitas suara 150 desibel adalah bahaya dan harus dihindari. Sedangkan intensitas 135-150 desibel, setiap orang yang terpapar perlu memakai pelindung telinga (earmuff dan earplug).

Pada suara dengan intensitas 115-135 desibel, pendengarnya harus mengenakan earmuff dan pada intensitas 100115 desibel pendengar perlu mengenakan earplug. Tahun 2012, World Health Organization (WHO) memperkirakan ada sekitar 360 juta orang di seluruh dunia yang mengalami gangguan pendengaran. Asia Tenggara adalah yang paling tinggi, sehingga WHO mencanangkan program Sound Hearing 2030. Program ini bertujuan supaya setiap penduduk memiliki kesehatan telinga dan pendengaran yang optimal pada tahun 2030. Di Indonesia ada Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) yang dibentuk tahun 2007. PGPKT bertujuan untuk merespon program WHO, dengan target penderita gangguan pendengaran di Indonesia akan tersisa 10 persen pada tahun 2030. (*)

Berita Terkait

Berita Terbaru

Polling

Apakah website ini bermanfaat untuk Anda?